Galian Tanah Perumahan PR Kota Depok Diduga Tak Berizin: Dibangun di Resapan Air dan Terancam Longsor

Depok, NewsGBN.com – Pembangunan Perumahan Pangeran Residence (PR) yang berlokasi di kawasan resapan air, dekat aliran kali Krukut, serta di bawah jalur SUTET, menuai sorotan tajam. Yang lebih mencengangkan, pembangunan diduga kuat dilakukan tanpa dokumen lingkungan yang sah. Pejabat berwenang? Diam. Pengembang? Menghindar. Warga? Pasrah dan tertekan.
Berdasarkan hasil investigasi, pengembang PR tidak pernah mengajukan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), UKL-UPL, atau SPPL kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Depok. Hal ini ditegaskan langsung oleh Kepala DLH Kota Depok pada 3 Juli 2025, setelah penelusuran stafnya menunjukkan nihilnya pengajuan dokumen lingkungan dari pengembang.
Padahal, pembangunan perumahan PR dilakukan di kawasan rawan tanah resapan air, tepat di tepi Kali Krukut, dan dekat pemakaman warga. Galian tanah sekitar sedalam 4 meter hanya berjarak 3 meter dari rumah-rumah penduduk. Risiko longsor sangat tinggi. Ironisnya, tiang SUTET berdiri megah di atas kawasan tersebut, menambah daftar panjang potensi bahaya.
Secara hukum, pembangunan seperti ini wajib mengantongi dokumen AMDAL atau UKL-UPL karena tergolong kegiatan berdampak penting terhadap lingkungan hidup. Ini sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2009 dan PP No. 22 Tahun 2021. Peraturan Menteri LHK No. 4 Tahun 2021 pun tegas menyatakan bahwa lokasi sensitif seperti resapan air wajib dikaji secara lingkungan sebelum ada aktivitas pembangunan.
Namun faktanya, pembangunan tetap berjalan. Tanpa AMDAL. Tanpa UKL-UPL. Tanpa SPPL. Dan yang lebih membahayakan, tanpa tindakan tegas dari pemerintah kota Depok. Padahal, Wakil Wali Kota Depok sudah dua kali meninjau langsung banjir yang terjadi di sekitar lokasi proyek ini. Ia bahkan mengakui kepada media bahwa perumahan PR tidak memiliki izin dan berjanji akan menindak tegas, siapapun bekingnya. Tapi, sampai berita ini ditulis, tak ada satu pun langkah nyata yang terlihat.
Warga sekitar, terutama penghuni Perumahan Depok Mas dan Azura, mengeluhkan banjir yang makin sering sejak proyek PR dimulai. Bahkan hujan sebentar saja sudah menggenangi wilayah mereka. Namun ketika awak media mencoba mewawancarai mereka, banyak yang enggan bersuara. “Kami takut, dia ada bekingnya,” kata salah seorang warga.
Ketika dimintai konfirmasi, pemilik perumahan PR hanya menjawab singkat, “Nanti kita ketemu, nanti kita bahas,” tanpa merinci apa pun. Terlihat jelas niat menghindar.
Awak media pun mencoba mencari keterangan dari Kepala Satpol PP Kota Depok, sebagai lembaga penegak Perda. Tapi lagi-lagi, hasilnya nihil. Kepala Satpol PP enggan menjumpai awak media dengan alasan yang tidak jelas.
Apakah ini bentuk pembiaran terstruktur?Ataukah indikasi kuatnya beking politik di balik proyek ini? Masyarakat bisa menilai. Apalagi, semua regulasi telah dilanggar secara terang-terangan. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang melarang pembangunan di kawasan sempadan sungai dan resapan air. Perda Jawa Barat No. 2 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2005 juga mengatur ketat soal sempadan dan kawasan lindung. Semuanya dilanggar, dan pemerintah diam.
Tak hanya itu, penggalian tanah dekat makam dan bangunan warga melanggar prinsip keselamatan publik sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 1077 Tahun 2011. Belum lagi risiko paparan radiasi dari SUTET yang dilarang berdasarkan UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Anehnya, tidak ada tindakan tegas. Tidak ada penyegelan. Tidak ada pencabutan izin. Satpol PP yang punya kewenangan penindakan, malah bungkam. DLH sudah bicara, tapi tidak ada tindak lanjut. Wakil Wali Kota berjanji, tapi tanpa eksekusi. Kepala Satpol PP menghindar. Semuanya bersembunyi di balik tembok birokrasi.
Inilah wajah nyata birokrasi kota Depok. Ketika pembangunan tanpa izin, tanpa dokumen lingkungan, dan berisiko merusak ekosistem serta membahayakan keselamatan warga dibiarkan berjalan begitu saja, maka negara sedang abai. Hukum tidak lagi berpihak pada keadilan, tapi pada kuasa dan uang.
Sudah saatnya Gubernur Jawa Barat, Inspektorat, DLH Provinsi Jawa Barat, Ombudsman, Menteri LHK, Kementerian PUPR, dan lembaga penegak hukum untuk turun tangan. Jangan biarkan warga terus menjadi korban keserakahan pengembang dan kelumpuhan pengawasan. (Redaksi)/