Lima Anggota DPR Resmi di Laporkan ke MK, Aktivis: MKD Bukan “Pengacara” Anggota DPR

Jakarta, NewsGBN.com – Aktivis Hotman Samosir, S.H., resmi melayangkan pengaduan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terhadap empat oknum anggota DPR RI dengan Nomor Pengaduan 41, pada Rabu (3/9/2025). Mereka adalah Adies Kadir (Golkar), Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio (PAN), Surya Utama (PAN), dan Nafa Urbach (NasDem). Sebelumnya, Ahmad Sahroni (Nasdem) sudah lebih dulu dilaporkan ke MKD dengan Nomor Pengaduan 39, Rabu (27/8).
Dalam aduan dengan Nomor Pengaduan 39 dan 41 yang disampaikannya, Hotman menegaskan bahwa kelima oknum anggota DPR tersebut dinilai melanggar Kode Etik DPR sebagaimana diatur dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015.
“Ucapan dan perilaku dari para teradu jelas dinilai telah melukai hati dan merendahkan martabat rakyat Indonesia. Ini bukan sekadar salah bicara dan khilaf, ini perbuatan menyakiti hati rakyat yang “menyuapi” mereka dengan gaji, tunjangan dan fasilitas mewah lainnya,” ujarnya ketika diminta keterangannya di Gedung DPR, Senin (8/9/2025).
Aktivis Hotman juga menilai Ahmad Sahroni (Nasdem), Adies Kadir (Golkar), Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio (PAN), Surya Utama alias Uya Kuya (PAN), dan Nafa Urbach (NasDem) telah menunjukkan perilaku arogan, nirempati, serta mempermalukan martabat lembaga legislatif. “Pejabat publik seharusnya mendengarkan rakyat, bukan mempertontonkan komunikasi niradab dan sikap nirempati hingga menabrak asas kepatutan sebagai representasi rakyat,” tegas Hotman dalam keterangannya.
Memicu Amarah
Aktivis Hotman merinci bahwa pernyataan Ahmad Sahroni yang merespons kritik dan seruan publik untuk membubarkan DPR dengan ucapan kontroversial “orang tolol sedunia”, hingga Adies Kadir mengenai tunjangan beras Rp12 juta, bensin Rp7 juta, dan masih nombok adalah bentuk nirempati. “Di saat rakyat antre beras murah, harga pangan naik, hingga sengkarut pajak, anggota dewan malah merespons kritik rakyat dengan melukai hati rakyat dengan argumentum ad hominem, hingga bicara soal tunjangan puluhan juta. Itu menunjukkan betapa jauhnya mereka dari realitas rakyat,” tegasnya.
Terhadap Eko Patrio dan Surya Utama, aktivis Hotman menyebut joget mereka di Sidang Tahunan MPR RI adalah perbuatan yang tidak etis. “Sidang MPR itu forum negara, bukan panggung hiburan. Joget mereka, lalu dilanjutkan di media sosial menanggapi kritik rakyat, sama saja dengan menyakiti hati nurani rakyat, memprovokasi rakyat, hingga memantik amarah publik,” katanya.
Sementara itu, pernyataan Nafa Urbach yang mendukung tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan juga dianggap keterlaluan. “Dia gagal membaca situasi. Saat rakyat menjerit karena ketimpangan sosial-ekonomi, pengangguran dan minimnya lapangan pekerjaan, hingga kecewa kinerja DPR, dia malah bicara seolah-olah anggota DPR kekurangan fasilitas. Itu sangat tidak berempati,” tambah aktivis Hotman.
Aktivis Hotman menekankan bahwa akibat pernyataan dan sikap kelima anggota DPR tersebut, gelombang kemarahan rakyat meluas di berbagai daerah. Dari 28 hingga 31 Agustus 2025, unjuk rasa besar-besaran terjadi, bahkan berujung penjarahan dan pembakaran gedung pemerintah, hingga menelan korban jiwa.
“Mereka harus paham, ucapan dan sikap anggota dewan bisa memicu krisis sosial. Dan itulah yang terjadi,” katanya.
Kritik terhadap Partai Politik
Meski sejumlah partai telah menonaktifkan kadernya yang terjerat kasus ini, langkah tersebut dinilai sekadar upaya meredam amarah rakyat. Pasalnya, dalam UU MD3 tidak dikenal istilah “nonaktif,” melainkan mekanisme PAW yang jelas. Hotman menilai, jika partai hanya bersikap simbolis tanpa tindak lanjut hukum dari Mahkamah Kehormatan Dewan dan Mahkamah Partai, maka krisis kepercayaan publik terhadap DPR dan partai politik akan semakin dalam.
“Hemat Saya, itu hanya cara sementara untuk meredam kemarahan publik. Dalam UU MD3 tidak ada istilah nonaktif. Yang ada adalah Pergantian Antarwaktu (PAW). Kalau partai hanya menonaktifkan, itu artinya hanya pencitraan belaka dan manuver politis,” ungkapnya.
Krisis Legitimasi Parlemen
Menurut Hotman, skandal ini adalah simbol krisis legitimasi DPR. “Selama ini publik sudah resah dengan kinerja DPR yang buruk. Kini, dengan sikap seperti ini, mereka semakin mempertebal jurang antara rakyat dan wakilnya,” katanya.
Hotman mengingatkan, jika DPR tidak segera berbenah secara kolektif dan mengabulkan tuntutan rakyat, bukan tidak mungkin aksi-aksi perlawanan rakyat akan terus berlanjut.
“Ini bukan hanya soal empat atau lima nama. Ini soal bagaimana DPR memposisikan diri di mata rakyat. Apakah sebagai wakil yang berjuang, atau sekadar penikmat fasilitas negara. Anggota DPR tidak bisa bicara dan bersikap seenaknya, karena menyangkut masalah kepatutan sebagai wakil rakyat,” ujarnya, mengutip pernyataan mantan Wakapolri sekaligus Wakil Ketua MKD, Adang Daradjatun.
Tuntutan Tegas
Aktivis Hotman meminta MKD bersikap independen dan tegas dalam menangani kasus ini. “Saya mendesak MKD menjatuhkan sanksi berat. Mereka harus dinyatakan melanggar kode etik berat, segera diproses PAW, dan dilarang maju lagi sebagai calon legislatif di periode mendatang,” katanya.
Di akhir keterangannya, aktivis Hotman menyatakan bahwa publik menunggu langkah MKD sebagai pengawal kode etik. Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015 menegaskan, MKD memiliki mandat menjaga kehormatan dan marwah legislatif. Namun, jika MKD gagal bersikap independen sesuai Pasal 11, besar kemungkinan rakyat akan melihat lembaga ini bukan sebagai penjaga etik, melainkan sekadar “pengacara” bagi anggota dewan yang tersandung kasus.
“Ini adalah momentum bagi MKD untuk membuktikan kredibilitasnya. MKD bukan “pengacara” anggota DPR. MKD ada untuk menjaga kehormatan lembaga legislatif dan sebagai “Divpropam” kalau di Kepolisian. Jika MKD melindungi pelanggar etik, maka habislah kepercayaan publik terhadap DPR,” pungkas aktivis Hotman Samosir mengingatkan. (Tim/Red)