Pernyataan Semua Tanah Milik Negara, Aktivis: Menteri ATR/BPN Nusron Wahid ‘Berbicara Seperti Ayam Tanpa Kepala

 

Jakarta – news GBN com – Polemik pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid soal semua tanah adalah milik negara, terus menuai kritik tajam. Meski Nusron telah menyampaikan permintaan maaf secara terbuka, arus kecaman dari publik, akademisi, dan para pegiat hukum agraria belum surut.

Dalam klarifikasinya yang diunggah akun Instagram Kementerian ATR/BPN pada Senin (11/8/2025), Nusron menyebut bahwa ucapannya telah menimbulkan kesalahpahaman. Ia menegaskan, maksudnya adalah negara mengatur hubungan hukum antara rakyat sebagai pemilik tanah dengan tanahnya melalui sertifikat. “Sekali lagi kami mohon maaf,” kata Nusron.

Namun, permintaan maaf ini dinilai tidak cukup untuk meredakan keresahan publik. Aktivis sosial, politik, dan hukum, Hotman Samosir, S.H., D.Com, menyebut pernyataan Nusron sebagai bentuk ketidakpahaman serius terhadap prinsip dasar hukum agraria di Indonesia dan jabatan yang diemban.

“Nusron Wahid ‘berbicara seperti ayam tanpa kepala’. Pernyataannya sesat dan menunjukkan gagal paham membedakan antara ‘memiliki tanah’ dan ‘menguasai tanah’,” tegas aktivis Hotman.

Menurutnya, UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) secara tegas menyebut negara hanya memiliki hak menguasai atas bumi, air, dan kekayaan alam, bukan hak milik mutlak.

“Memiliki tanah berarti kepemilikan penuh oleh individu atau badan hukum, sedangkan menguasai berarti negara berwenang mengatur dan mengelola untuk kepentingan umum. Hak milik rakyat tidak bisa diklaim dan dicabut sembarangan,” ujarnya menegaskan.

Hotman juga mengingatkan bahwa hak milik atas tanah bersifat mutlak dan hanya dapat ‘dicabut’ demi kepentingan umum dengan pemberian ganti rugi yang layak sesuai peraturan perundang-undangan.

“Kalau pemerintah sampai memaksakan semua tanah milik rakyat adalah milik negara, dan pencabutan hak milik dengan alasan tanah menganggur dua tahun, itu inkonstitusional dan neokolonialisme. Bahkan lebih biadab dari praktik VOC,” kata Hotman Samosir.

Pernyataan Nusron yang viral di media sosial bermula dari keterangannya usai menghadiri acara Ikatan Surveyor Indonesia di Jakarta, Rabu (6/8).

Dalam kesempatan itu, Nusron berbicara soal penertiban tanah telantar. Ia mengatakan bahwa tanah tidak ada yang memiliki, dan masyarakat hanya menguasai setelah diberi hak oleh negara.

Lebih jauh, Nusron bahkan menyinggung klaim kepemilikan berdasarkan warisan leluhur. “Saya mau tanya, memang mbahmu atau leluhurmu bisa membuat tanah? Tidak bisa membuat tanah,” katanya dengan nada retoris yang kemudian memicu kemarahan publik.

Bagi Hotman, ucapan ini adalah potret komunikasi publik yang ceroboh dari seorang pejabat negara. “Kata-kata itu bukan hanya menyesatkan secara hukum, tapi juga melecehkan rasa sejarah dan kearifan lokal masyarakat. Seolah warisan tanah leluhur tak memiliki nilai hukum maupun budaya,” jelasnya.

Hotman menilai, kegaduhan ini adalah buah dari lemahnya pemahaman hukum agraria di kalangan pejabat, yang seharusnya menjadi garda terdepan menjaga kepastian hukum pertanahan.

“Kalau Menteri ATR/BPN saja bingung soal konsep kepemilikan tanah, bagaimana publik mau percaya pada kebijakan pertanahan yang adil?” sindirnya.

Ia juga mengingatkan bahwa pernyataan pejabat bukan sekadar opini pribadi, tetapi memiliki konsekuensi hukum dan politik. “Sekali keluar dari mulut menteri, pernyataan itu bisa memengaruhi interpretasi aparat di lapangan. Akibatnya, rakyat bisa menjadi korban penafsiran keliru,” kata Hotman.

Meski Nusron sudah mengoreksi ucapannya, Hotman menilai pemerintah perlu melakukan pembenahan serius dalam pola komunikasi pejabat negara

“Bukan hanya minta maaf, tapi juga memastikan semua kebijakan dan pernyataan pejabat selaras dengan konstitusi dan UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 serta regulasi turunannya,” tegas aktivis tersebut.

Hotman menambahkan, pernyataan keliru seperti ini dapat melemahkan kepercayaan publik terhadap program reforma agraria yang selama ini digadang-gadang pemerintah.

“Bagaimana rakyat mau mendukung jika yang memimpin justru memutarbalikkan konsep hukum?” katanya lagi.

Lebih jauh, ia mendorong Presiden Prabowo Subianto untuk mengevaluasi kinerja para menterinya, terutama di bidang yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

“Presiden harus memastikan menterinya paham substansi hukum, bukan sekadar bisa membuat gaduh,” pungkas Hotman.

Aktivis tersebut mengingatkan bahwa kasus ini menjadi pelajaran pahit bahwa di era keterbukaan informasi, ucapan pejabat publik harus berbasis data, hukum, dan etika komunikasi. (Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *